Pulau Enggano | Melacak Potensi Kars di Kepulauan Terluar
PULAU ENGGANO : Melacak Potensi Kars di Kepulauan Terluar
Andy S. Wibowo
“05-06-1596 komt men bij het eerste Indische eiland: Enggano, ten westen van zuidelijk Sumatra ”
itulah kutipan dari Cornelis de Houtman saat melakukan ekspedisi ke wilayah negeri rempah-rempah, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “05-06-1596 Tiba di pulau Hindia yang pertama: Pulau Enggano, di sebelah barat Pulau Sumatera bagian selatan”. Nama Enggano berasal dari bahasa Portugis yang berarti kebohongan atau kekecewaan (Loeb, 1972: 208, Keurs, 1994: 4).
Ditinjau dari makna namanya, “kemungkinan” orang Portugis merasa tertipu dan kecewa karena mengira pulau ini adalah Pulau Jawa, atau pulau lainnya yang merupakan pulau yang sedang mereka cari dalam rangka mendapatkan rempah-rempah.
Lokasi Pulau Enggano
Sebagai salah satu pulau terluar Indonesia yang terletak di sebelah barat Pulau Sumatra, Pulau Enggano memiliki banyak keunikan secara ilmu pengetahuan maupun potensi alamnya, mulai dari keberadaan binatang-binatang endemik, kebudayaan (bahasa & rumah adat) yang berbeda dengan pulau-pulau disekitarnya, dan juga kondisi geologi yang beberapa peneliti menyebutkan bahwa Pulau Enggano tidak pernah menyatu dengan Pulau Sumatera atau pulau-pulau lainnya.
Dari semua itu ada satu hal keunikan alam di pulau enggano yang jarang di eksplorasi, yaitu potensi keindahan bentang alam kars-nya. Bahkan hampir tidak pernah ada pembahasan tentang kars Pulau Enggano baik dalam publikasi jurnal ilmiah maupun berupa tulisan populer. Dari hasil penelitian terpadu oleh Balai Arkeologi Sumatera Selatan yang dilakukan pada tahun 2018 dan 2019 sedikit mengungkap potensi kars di Pulau Enggano. Pada penelitian tersebut telah dilakukan pendataan tentang fitur-fitur kars yang berkembang. Fitur kars yang ditemukan berupa gua, danau kars, sinkhole, resurgence, swallow hole, dan mata air kars.
Gua dan Kars Pulau Enggano
Jika dilihat dari bentukan morfologinya, sekilas Pulau Enggano tidak nampak seperti kawasan kars pada umumnya di Indonesia yang identik dengan bentukan morfologi positif seperti pinnacle kars, kerucut kars, menara kars, dan juga morfologi negatif seperti dolina dan uvala. Seperti yang terlihat memang bentukan morfologi positif tidak berkembang baik di Pulau Enggano, sedangkan bentukan morfologi negatif seperti doline dan sinkhole sebenarnya dibeberapa tempat ditemukan, namun doline yang berkembang memiliki dimensi yang tidak besar/luas. Jika di lihat dari sejarah kegiatan ekspedisi speleologi di Indonesia, biasanya dalam penentuan lokasi yang dijadikan faktor utama adalah interpretasi bentukan morfologi, mungkin itu menjadi faktor kenapa tidak adanya kegiatan ekspedisi speleologi maupun penelitian khusus tentang kars di Pulau Enggano tentu selain lokasinya yang cukup sulit dikarenakan merupakan salah satu pulau terluar di Indonesia.
Peta geologi Pulau Enggano dan sebaran gua di Pulau Enggano
(Andy S. 2018, modifikasi dari T.C.Amin, dkk. 1993)
Pada penelitian oleh Balai Arkeologi Sumsel (2018 & 2019) telah di temukan 18 gua yang dominan berupa gua horisontal dan memiliki sungai bawah tanah di dalamnya, jumlah gua ini tentu juga pasti akan bertambah mengingat masih belum semua area ber-litologi batugamping di Pulau Enggano telah di survei. Dari 18 gua yang ditemukan ada salah satu gua yang di eksplore lebih mendalam, selain menemukan biota-biota gua yang khas hidup didalam gua, satu hal yang cukup menarik adalah gua tersebut memilik panjang lorong > 2200 m, tentu panjang lorong tersebut masih akan terus bertambah dikarenakan masih ada beberapa cabang lorong yang belum diukur maupun di eksplorasi. Penemuan ini tentu sesuatu yang menarik mengingat kars di Pulau Enggano terbentuk pada batugamping yang berumur plistosen (± 2.500.000 – 12.000 tahun yang lalu). Perlu diketahui bahwa sebaran batugamping di Indonesia yang memiliki umur yang sama dengan batugamping di Pulau Enggano, belum pernah ditemukan memiliki gua dengan panjang lorong > 2 km, gua-gua yang ditemukan biasanya memiliki panjang < 200 m dan “miskin” akan perkembangan fitur-fitur kars lainnya khususnya fitur endokars. Hal ini tentu akan merubah paradigma yang selama ini berkembang di Indonesia tentang perkembangan kars, yaitu gua dan kars pada batugamping plistosen tidak akan berkembang baik dibandingkan dengan batugamping yang umurnya lebih tua.
Peta Gua Dopa’am
Mulut Gua Dopa’am (foto : Dhanang Puspita)
Lorong Gua Dopa’am (foto : Dhanang Puspita)
Selain potensi perkembangan gua, terdapat salah satu fitur kars yang cukup unik di Pulau Enggano, yaitu telaga kars. Telaga kars ini merupakan telaga alami yang terbentuk pada daerah yang berlitologi batugamping. Telaga kars
yang ditemukan di Pulau Enggano berjumlah 43 telaga, yang lokasinya berada pada sisi bagian tengah dan barat Pulau Enggano, terletak pada daerah perbukitan bergelombang sedang dan bagian atasnya di tutupi oleh lapisan tanah yang cukup tebal. Telaga kars ini terbentuk akibat proses amblesan yang di akibatkan oleh proses pelarutan batugamping pada bagian bawahnya yang berlangsung secara menerus sehingga membuat celah atau lubang di bagian bawah, selama proses berlangsung pada lapisan atas akan terus turun / ambles, proses penurunan ini juga akan dipercepat karena di picu oleh gempa-gempa tektonik yang sering terjadi di Pulau Enggano. Telaga kars ini diperkirakan terbentuk pada kurun waktu yang belum terlalu lama, hal ini dibuktikan dengan masih adanya sisa-sisa pohon mati yang dulunya tumbuh sebelum area tersebut ambles dan menjadi telaga seperti saat sekarang.
Danau Blok 2 yang merupakan salah satu telaga kars di Pulau Enggano (foto :Andy S)
DAFTAR PUSTAKA
Amin, T. C., Kusnama, Rustandi, E., dan Gafoer, S. 1993. Peta Geologi Lembar Manna dan Enggano, Sumatera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Barber, A.J., Crow, M.J. & Milsom, J.S. (Eds) 2005. Sumatra: Geology, Resources And Tectonic Evolution. Geological Society, London, Memoirs, 31
Darman, H., dan Sidi, F. H. 2000. An outline of the geology of Indonesia. Jakarta : Indonesian Association of Geologists
Diament, M., Harjono, H., Karta, K., Deplus, C., Dahrin, D., Zen, JR. M.T., Gerrard, M., Lassal, O., Martin, A. & Malod, J. 1992.
Mentawai Fault Zone off Sumatra : A New Key to the Geodynamics of Western Indonesia . Geology 20, 259-262
Laksana, Erlangga E. 2016. Stasiun Nol Edisi-2 : Teknik-teknik pemetaan dan survei hidrologi gua. Yogyakarta : Acintyacunyata Speleological Club
Ford, D. dan Williams, P. 2007. Karst Hydrogeology and Geomophology. England: British library
Keurs, Pieter J. ter. 1994. Enggano. Dutch: Museum National of Ethnology
Loeb, M. 1972. Sumatera Its History and People. Singapore: Oxford University Press
Prasetyo, Sigit E, dkk. 2019. Laporan Eksplorasi Jejak Kebudayaan Di Pulau Enggano Sebagai Pulau
Terdepan Diwilayah Dataran Sumatera Tahap II . Palembang : Balai Arkeologi Palembang (tidak diterbitkan)
Sieh K., dan Natawidjaja, D.H., 2000. Neotectonics of the Sumatran Fault, Indonesia. J. Geophys. Res., 105(B12) 28,295–28,326
Luar biasa..saya suka pemaparan tulisan tentang karstologi dan ulasan geologi di pulau enggano ini yang jarang di expose. Semoga saya bisa menulis seperti ini kedepan. Bravo tim ASC.
Salam
Adi Susanto ( andi vulkano)
angkatan diklat ASC 2019.