Eksperimen Fotografi Goa

Eksperimen Fotografi Goa :
Memicu Lampu Kilat Dengan Kamera Ponsel

Oleh : A.B Rodhialfalah

Tidak bisa dipungkiri, perkembangan fotografi goa melesat cepat sejak teknologi fotografi digital bisa dinikmati oleh masyarakat luas.Ketika teknologi fotografi digital masih mahal dan hanya digunakan oleh kalangan terbatas (jurnalis foto), fotografi goa (khususnya di Indonesia) sangat sepi peminat. Selain kesulitan teknis pemotretan, tidak banyak fotografer yang rela perangkat fotografinya “berjibaku” di medan ekstrem yang basah dan berlumpur.

Saat ini, ketika teknologi fotografi digital semakin murah dan ringkas, kebanyakan penelusur goa tak pernah melewatkan aktivitas memotret di dalam goa.Motivasinya pun beragam, memotret untuk dokumentasi kegiatan, memotret untuk mendukung riset yang sedang dilakukan, memotret untuk karya seni fotografibahkan memotret untuk sekedar eksis di media sosial. Semuanya sah-sah saja dilakukan selama si fotografer bertanggungjawab terhadap proses pemotretan dan konten hasil karyanya.

Selama puluhan tahun fotografer goa mengandalkan kamera jenis SLR (Single Lens Reflex) dalam berkarya, “tradisi” ini berlanjut ketika teknologi digital datang.DSLR seolah menjadi perangkat yang wajib dimiliki sebelum memotret di goa. Alasan yang mudah dipahami adalah SLR/DSLR memiliki sejumlah fitur yang “mudah” dikendalikan oleh fotografer, ringkas dan juga menjanjikan hasil foto yang baik ketika digunakan di lingkungan yang serba ekstrem (baca : kelembaban tinggi, medan yang sulit dan hampa cahaya).

Kemajuan teknologi hari ini memungkinkan segala hal memiliki alternatif. Era dominasi DSLR pun rupanya sudah “digugat” oleh kamera-kamera yang lebih ringkas dengan hasil gambar berkualitas setara, seperti kamera “mirrorless” yang rata-rata berukuran fisik sebesar kamera saku, atau bahkan kamera saku itu sendiri. Akhir-akhir ini, kamera yang terintregrasi ke dalam perangkat telepon genggam pun mulai unjuk gigi dengan segudang fitur dan menawarkan hasil gambar yang berkualitas tinggi.

“Kecanggihan” kamera di telepon seluler (ponsel) ini mulai mengusik saya sejak tiga tahun terakhir.Sebagai seorang praktisi fotografi goa, saya selalu berkeinginan untuk mencoba kamera ponsel untuk memotret di dalam goa.Tentu saja selain sensasi pribadi yang ingin saya nikmati, saya ingin mencari alternatif perangkat fotografi yang lebih ringkas dari sebelumnya.Mengingat, kegiatan penelusuran goa adalah salah satu kegiatan alam bebas yang “paling ribet” dari sisi peralatan dan perlengkapan.Tak terkecuali fotografi goa. Setidaknya dalam pemotretan di goa, saya membawa satu tas tersendiri untuk peralatan fotografi, ditambah satu tas lagi untuk logistik, alat-alat susur goa plus tripod. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya bukan?

Kesempatan pertama eksperimen fotografi goa dengan ponsel telah saya lakukan pada pertengahan tahun 2015 di salah satu goa di Sukabumi, Jawa Barat. Waktu itu saya menggunakan ponsel Samsung K-Zoom yang memiliki kamera beresolusi 20 MP. Ukuran fisik sensor yang tertanam pada ponsel ini adalah 1/2,3 inch (6,17 x 4.5 mm), tergolong sensor berukuran kecil yang sering digunakan pada kamera saku, namun sensor kedua terbesar pada ponsel setelah Nokia 808 dan Nokia 1020 (keduanya berukuran 10.67 x 8 mm)

Saya menggunakan sumber cahaya senter LED berkekuatan pancar 3800 lumens dan lampu kilat dengan GN-48 pada Iso 100 dan jarak 1 meter.Aplikasi kamera bawaan Samsung K-zoom memungkinkan saya memotret dengan kecepatan rendah hingga 30 detik.Sehingga dengan bermodalkan tripod saya bisa mengoperasikan beberapa sumber cahaya sekaligus yang dioperasikan secara manual oleh rekan-rekan penelusur goa.Hasilnya cukup menjanjikan untuk dieksplorasi lebih jauh. (artikel mengenai eksperimen tersebut dapat di download di : http://exposure-magz.com/2015/10/03/exposure-87th-edition/)

Kesempatan kedua eksperimen memotret dengan ponsel saya lakukan menjelang akhir tahun 2016 di salah satu goa di kawasan Karst Kalapanunggal, Tajur-Bogor, Jawa Barat.Pada eksperimen kedua ini saya menggunakan ponsel Iphone 5s yang memiliki kamera 8 MP.Ukuran fisik sensor yang tertanam pada ponsel ini berukuran 1/3 inch (4.80 x 3,60 mm), jauh lebih kecil dari Samsung K-zoom.Pada eksperimen kali ini saya menggunakan tiga buah lampu kilat, lampu kilat pertama dan kedua memiliki GN aktual 39dengan fitur master flash dan slave flash. Lampu kilat ketiga memiliki GN aktual 28 dengan fitur slave flash. Ketiga lampu kilat yang saya gunakan memiliki pengaturan secara manual kekuatan pencahayaan.

Dalam eksperimen ini saya akan memicu lampu kilat pertama dan kedua dengan alat picu nirkabel (wireless trigger). Saya mengaktifkan mode master flash pada lampu kilat pertama dan mengaktifkan mode slave flash pada lampu kilat ketiga, hal ini ditujukan agar lampu kilat ketiga akan ikut menyala ketika lampu kilat pertama menyala. Saya menggunakan pemicu lampu kilat “Tric” yang dikhususkan untuk merk ponsel yang saya gunakan, kebetulan produsen “Tric” berbaik hati memberikan perangkatnya secara cuma-cuma kepada saya lengkap dengan aplikasi bawaannya.

Hal yang tidak boleh saya lupakan adalah saya harus membungkus semua lampu kilat dan alat pemicu dengan plastik bening.Goa yang saya gunakan untuk eksperimen adalah goa berair yang memiliki lorong sempit dan atap rendah.Ponsel saya lengkapi dengan pelindung anti air.Bekerja dengan pemicu lampu kilat memungkinkan saya meninggalkan tripod di rumah.Sekarang perlengkapan fotografi goa saya bisa terkemas dalam satu tabung makanan kedap air berukuran kecil.Selama melakukan pemotretan saya dibantu oleh Boyo (Linggih Alam, Bogor), Mutiara (Mapala Sakai, Jambi) dan Yenri (Mateksapala, Jakarta).Secara bergantian ketiganya berperan menjadi “model” dan “flashman”.

Dalam setiap pemotretan, saya melakukan beberapa kalkulasi dasar untuk mendapatkan pencahayaan yang tepat. Ponsel yang saya gunakan dalam kondisi gelap total secara otomatis akan memilih diafragma terbesar yang dimilikinya, yakni f2.2. Jika saya menggunakan jarak 3 meter misalnya, dengan rumus dasar GN = f x jarak, saya seharusnya membutuhkan lampu kilat dengan GN 6.6 untuk mendapatkan pencahayaan yang tepat.Saya menggunakan lampu kilat pertama yang memiliki GN-39 sebagai cahaya utama. Agar hasil pemotretan tidak kelebihan cahaya saya menurunkan kekuatan pancar lampu kilat saya pada setelan ¼ dan 1/8 dari kekuatan penuhnya untuk cahaya utama, sedangkan untuk cahaya pengisi saya menggunakan setelan 1/16 dan 1/32.

Perhitungan ulang selalu saya lakukan jika jarak antara sumber cahaya dan obyek berubah.Untuk mendapatkan hasil yang pas, saya juga melakukan penyesuaian terhadap pengaturan ISO, jika cahaya masih terlalu kuat saya turunkan ISO ke angka 50, jika kurang saya naikkan ke angka 100.Secara umum hasilnya cukup menjanjikan. Beberapa kendala yang saya hadapi adalah :

Pertama, fokus yang sering bergeser dari obyek pemotretan. Fungsi penguncian fokus yang tersemat pada Iphone 5s tidak bekerja di aplikasi bawaan pemicu lampu kilat “Tricflash”.

Kedua, adanya jeda antara tombol pemotretan pada ponsel dengan nyala lampu kilat yang dipicu.

Ketiga, proses pemicuan lampu kilat tidak bekerja maksimal jika ada penghalang yang terlalu tebal antara lampu kilat dan pemicu (dalam hal ini adalah bebatuan atau dinding di goa).

Keempat, kecepatan rana pada ponsel dengan aplikasi bawaan Tric saat memotret dengan lampu kilat adalah 1/30 detik, kemungkinan camera shake sangat besar, sebaiknya tetap menggunakan tripod dan tombol shutter nirkabel waktu memotret. ***

Peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam eksperimen :
1. Ponsel Iphone 5s dengan pelindung anti air
2. Canon Speedlite 580ex II (2 buah)
3. Yongnou Speedlite 460
4. Tric Wireless Trigger (2 buah)
5. Baterai A2 isi ulang (12 buah)
6. Baterai A3 isi ulang 4 buah
7. Plastik pembungkus
8. Selotip
9. Kain Lap Kamera
10. Tabung NL Curtex
11. Headlamp
12. Senter tangan
13. Helmet
14. Coverall
15. Sepatu Boot
16. Sarung Tangan
17. Tas Ransel untuk Penelusuran Goa (Tackle bag)

Cikenceng Cave Trial_01 : Aperture f/2.2, speed 1/30 detik, ISO 32, Lighting 1 : Canon 580ex II (1/4) Lighting 2 : Canon 580ex II (1/8) Lighting 3 : Yongnuo 460 (1/16)

Cikenceng Cave Trial_01 : Aperture f/2.2, speed 1/30 detik, ISO 32, Lighting 1 : Canon 580ex II (1/4) Lighting 2 : Canon 580ex II (1/8) Lighting 3 : Yongnuo 460 (1/16)

Cikenceng Cave Trial_02 : Aperture f/2.2, speed 1/30 detik, ISO 32, Lighting 1 : Canon 580ex II (1/8) Lighting 2 : Canon 580ex II (1/16)

Cikenceng Cave Trial_02 : Aperture f/2.2, speed 1/30 detik, ISO 32, Lighting 1 : Canon 580ex II (1/8) Lighting 2 : Canon 580ex II (1/16)

Cikenceng Cave Trial_03

Cikenceng Cave Trial_03: Aperture f/2.2, speed 1/30 detik, ISO 32, Lighting 1 : Canon 580ex II (1/4) Lighting 2 : Canon 580ex II (1/4) Lighting 3 : Yongnuo 460 (1/16)

Cikenceng Cave Trial_04 :

Cikenceng Cave Trial_04 : Aperture f/2.2, speed 1/30 detik, ISO 32, Lighting 1 : Canon 580ex II (1/4) Lighting 2 : Canon 580ex II (1/16) Lighting 3 : Yongnuo 460 (1/8

Cikenceng Cave Trial_05

Cikenceng Cave Trial_05 : Aperture f/2.2, speed 1/30 detik, ISO 32, Lighting 1 : Canon 580ex II (1/4) Lighting 2 : Canon 580ex II (1/4) Lighting 3 : Yongnuo 460 (1/16)

Cikenceng Cave Trial_06 : Aperture f/2.2, speed 1/30 detik, ISO 32, Lighting 1 : Canon 580ex II (1/4) Lighting 3 : Yongnuo 460 (1/64)

Cikenceng Cave Trial_06 : Aperture f/2.2, speed 1/30 detik, ISO 32, Lighting 1 : Canon 580ex II (1/4) Lighting 3 : Yongnuo 460 (1/64)

ascyogyakarta

ASC Jogja

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *