Analisa Risiko Penelusuran Gua dalam Kasus Banjir Permukaan
Oleh : Thomas Suryono – Acintyacunyata Spelological Club Yogyakarta – 2013
Kegiatan penelusuran gua makin marak di Indonesia. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh para penggiat yang notabene menelusuri gua-gua dengan bekal ketrampilan dan pengetahuan khusus, tapi juga makin banyak di gemari wisatawan umum karena dibukanya banyak obyek wisata penelusuran gua. Apapun bentuk guanya dan siapapun pelaku kegiatan, penelusuran gua tetap mempunyai risiko. Gua tetap merupakan sebuah lingkungan yang tertutup, dengan cahaya yang sangat minim jika tidak bisa disebut zero, mempunyai “micro climate” sendiri, medan yang sangat bervariasi baik horisontal, vertikal, berair, merayap, merunduk, memanjat dan masih banyak lagi.
Ada satu hal yang perlu dipahami oleh para penggiat kegiatan ini, selain bahaya didalam gua, risiko kegiatan ini juga memiliki ancaman karena pengaruh lingkungan permukaannya. Gua yang ditelusuri pada umumnya berada di daerah karst, yaitu daerah yang tersusun dari batuan kapur, yang sudah mengalami proses pelarutan sehingga membentuk sebuah bentang alam baik permukaan maupun dibawah permukaan yang spesifik. Dapat mudah dipahami bahwa proses terbentuknya gua sangat tergantung dengan aktifitas hidrologi, dibumi ini aktifitas hdrologi terekam dalam sebuah siklus Hidrologi.
Kurangnya diperhatikan bahaya kegiatan ini dimusim hujan mengakibatkan belakangan ini terjadi beberapa kali kecelakaan gua karena kejadian banjir, baik terjadi pada para penggiat maupun wisatawan. Tercatat ada beberapa kali kecelakaan akibat banjir sebagai berikut :
1. Banjir di Gua Seplawan, Kulonprogo, 30 Desember 2012, 2 orang terjebak, selamat.
2. Banjir di Gua Sriti Gunungkidul, 2 Maret 2013, 6 orang terjebak, selamat.
3. Banjir di Gua Kiskendo, Kendal, Jawa Tengah, 10 Maret 2013, 2 Orang Tewas.
4. Banjir di Gua Serpeng 2, Gunungkidul 19 Maret 2013, 3 Orang Tewas.
1.) Manajemen Risiko
Terkait dengan bahaya banjir perlu dilakukan sebuah manajemen yang mengacu pada nilai risiko dari kegiatan ini. Nilai risiko dapat dianalisa dengan beberapa potensi yang mempengaruhinya
a. Ancaman
Ancaman adalah sebuah potensi yang ada dilingkungan sekitar yang menjadi potensi bencana. Dalam hubungan dengan kejadian musibah banjir ada beberapa ancaman yang bisa diidentifikasi :
1. Gua atau mulut gua yang terletak didalam sebuah daerah tangkapan air hujan dan menjadi lobang pengering aliran permukaan (run off) .
2. Sebuah komplek perguaan dengan berbagai lorong yang saling terkoneksi dengan beberapa mulut gua yang masing-masing merupakan lobang pengering daerah tangkapan air hujan.
3. Sebuah gua yang memmpunyai sistem aliran bawah permukaan yang tidak langsung terhubung dengan sebuah run off. Gua dengan tipe ini air yang mengalir berasal dari rembesan melalui porositas sekunder dan sistem percelahan di tubuh batugamping itu sendiri. Banjir yang terjadi biasanya terjadi dengan perlahan, tidak terlau mencolok perubahan warna air dan debitnyanya, dan akaln lambat pula penurun muka airnya.
4. Musim hujan akan menjadi sebuah ancaman ketika melakukan kegiatan penelusuran.
b. Kerentanan (vulnerability)
Keretanan adalah kondisi-kondisi yang ditentukan oleh fakto-faktor atau proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang meningkatkan kecenderungan risiko.
1. Para penggiat, penyelenggara kegiatan pendidikan maupun pengelola obyek wisata tidak memasukkan analisa daerah tangkapan atau sistem air bawah tanah untuk menurunkan risiko.
2. Penggiat, penyelenggara kegiatan pendidikan dan pengelola obek wisata memilih gua yang terletak didaerah tangkapan, sistem air bawah tanah dan dilaksanakan pada saat musim hujan.
3. Penyelenggara kegiatan pendidikan tidak melakukan survey awal/ pemetaan gua untuk mengidentifikasi dan mensonasi daerah bahaya tiap section gua, juga menentukan posisi entrance yang digunakan dan rancangan/ variasi lintasan untuk menganalisa besarnya risiko.
4. Pada kegiatan pendidikan dan wisata gua, para peserta pendidikan dan pengunjung wisata adalah orang yang belum dibekali keahlian dan ketrampilan yang tinggi, tanpa pengalaman yang cukup dan bukan dalam kapasitas memutuskan.
5. Para penggiat, perencana kegiatan, pengelola obeyk wisata kurang memperhatikan adanya perubahan perilaku iklim secara global. Siklus, tanda alam, kebiasaan masyarakat, kejadian hujan lokal tidak bisa lagi menjadi patokan untuk perencanaan kegiatan.
c. Kapasitas (capacity)
Kombinasi semua kekuatan dan sumberdaya yang tersedia didalam sebuah komunitas, masyarakat atau lembaga yang dapat mengurangi risiko.
1. Informasi dan pengetahuan tentang gua dan lingkungannya dengan mudah didapat dari lembaga atau institusi yang mengkhususkan dengan kegiatan tersebut maupun dari berbagai halaman komunitas dan pribadi di internet.
2. Perubahan iklim dari tahun-tahun sebelumnya terecord dengan baik dalam sebuah tabel rekapitulasi kejadian hujan tahunan lengkap dengan intensitas hujannya dan dapat dengan mudah diperoleh dari instasni atau badan terkait (BMKG, BPS, Dinas Pertanian dll).
3. Makin banyaknya organisasi penggiat penelusuran gua dan saling terhubung lewat berbagai wadah komunikasi dan diskusi untuk saling bertukar informasi dan pengetahuan.
d. Risiko.
Pada kegiatan penelusuran gua risiko bisa diartikan sebagai, bahaya yang terjadi pada sebuah kegiatan yang berakibat pada penelusur kehilangan nyawa, cacat, luka-luka, kehilangan aset, trauma psikologis dan juga bahaya pada guanya.
2.) Iklim.
Iklim adalah rata-rata kondisi atau peristiwa cuaca disuatu daerah tertentu berdasarkan waktu yang panjang. Iklim suatu tempat dibumi dipengaruhi oleh letak geografis dan topografi tempat tersebut. Isu perubahan iklim secara global belakangan ini dihubungkan dengan gejala pemanasan global. Fenomena ini memberi pengaruh pada pergeseran musim dan perubahan pola/ distribusi hujan yang memicu terjadinya banjir dimusim hujan, kekeringan dimusim kemarau, mencairnya es dikutub dan naiknya muka air laut.
Acuan perhitungan musim untuk para perencana kegiatan alam bebas sudah tidak pada tempatnya mengacu pada perhitungan musim yang selama ini dikenal (April Oktober – Oktober April), maupun dari kebiasaan perhitungan masyarakat yang berhubungan dengan kegiatannya contohnya penentuan musim tanam.
3.) Siklus Hidrologi
Siklus Hidrologi adalah sebuah siklus air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui konndensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi.
Air hujan (presipitasi) yang jatuh kepermukaan bumi sebagian akan mengalami proses peresepan kedalam lapisan tanah (infiltrasi), sebagian lagi akan mengalir dipermukan (runn off) mencari titik terendah terkumpul di aliran sungai yang akan bermuara dilaut, kemudian akan mengalami proses penguapan (evaporasi) dari muka tanah atau muka laut, sebagian akan mengalami penguapan melalui daun pada tanaman (transpirasi). Uap air dari evaporasi akan mengalami proses pembentukan air di atmosfir (kondensasi), dan kemudian turun kembali menjadi hujan (presipitasi), demikian proses tersebut berulang
Di daerah karst yang batuannya mempunyai nilai porositas dan permeabilitas tinggi, air terinfiltrasi melalui porositas sekunder dan sistem percelahannya, sehingga sangat sulit ditemukan sungai yang mengalir sepanjang tahun. Run off di daerah ini biasanya akan mengalir ke titik terendah seperti telaga, lobang atau sumuran (ponor), mulut gua tempat sungai musiman bermuara (swallow hole) atau pun ke sebuah lobang tempat air menghilang secara diffusi (sink hole).
Demikian dapat dipahami risiko karena bahaya banjir permukaan pada penelusuran gua bisa terjadi jika ada ancaman berupa gua yang dipilih terletak pada suatu daerah tangkapan, dan merupakan lobang pengering aliran air pemukaan saat hujan turun, serta kegiatan dilakukan pada saat musim hujan
4.) Analisa Ancaman
Untuk mengidentifikasi ancaman para penelusur gua sebenarnya sudah dibekali dengan materi geomorfologi karst, hidrologi karst, speleogenesis dan bahaya penulusuran gua. Secara aplikatif materi tersebut bisa digunakan untuk mengenali adanya ancaman tersebut. Beberapa parameter penting sebagai identifikasi risiko karena bahaya banjir meliputi :
a. Luasan Catchment area/ daerah tangkapan air hujan.
Adalah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh punggung bukit atau batas-batas pemisah topografi, yang berfungsi menerima, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke alur-alur sungai dan terus mengalir ke anak sungai dan ke sungai utama, akhirnya bermuara ke danau/waduk atau ke laut. Didaerah karst aliran permukaan akan terkumpul di anak sungai dan sungai musiman kemudian bermuara di telaga, ponor, mulut gua, atau sink hole.
b. Infiltrasi.
Adalah proses meresapnya air hujan kedalam tanah melalui permukaan tanah. Laju infiltrasi adalah tinggi air hujan (mm) yang masuk kedalam tanah lewat permukaan tanah dalam satuan waktu. Laju infitrasi biasanya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan curah hujan (mm/jam). Jika kapasitas infiltrasi lebih rendah dari curah hujan maka tanah penutup akan cepat menjadi jenuh dan mengakibatkan menjadi genangan air maupun aliran air dipermukaan (run off).
c. Jenis lapisan penutup daerah tangkapan.
Tiap jenis tanah penutup sebuah daerah tangkapan akan mempengaruhi laju infiltrasi, yang dipengaruhi oleh nilai porositas dan permeabilitas. Porositas adalah persentase volume rongga terhadap volume totalnya. Permeabilitas adalah kemampuan jenis tanah atau batuan untuk meloloskan air melewati perlapisannya.
e. Pemanfaatan atau guna lahan daerah tangkapan.
Tiap pemanfaatan lahan akan mengubah kepadatan lapisan tanah penutup suatu daerah tangkapan. Daerah tangkapan yang masih ditumbuhi vegetasi akan memiliki kondisi perakaran yang baik untuk menahan aliran air dipermukaan dan memungkinkan air meresap kedalam tanah melalui sistem perakarannya
f. Persen kelerengan daerah tangkapan
Persen kelerengan adalah persen beda tinggi terhadap panjang horisontal, hal ini akan mempengaruhi gaya gravitasi air, aliran secara vertikal kedalam tanah.
Gambar . Gambar persen kelerengan , didapat hasil (200-182.5)/938 *100%=1.86%.
g. Curah Hujan
Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.
Gambar . Klasifikasi Curah Hujan Menurut BMG
Parameter tersebut di atas bisa didapat melalui analisa data sekunder maupun kunjungan dan pemetaan lapangan yang biasa dilakukan dalam survey awal sebuah kegiatan. Data sekunder sebagai pelengkap informasi bisa berupa data-data spatial yang berisi informasi topografi (peta kontur), geologi, tata guna lahan, maupun peta citra. Pemetaan lapangan dimaksudkan untuk mendetilkan informasi data sekunder yang sudah diolah/ dianalisa.
5.). Modeling Daerah Tangkapan
Analisa penentuan daerah tangkapan bisa dilakukan dengan data-data spatial menggunakan pengolahan Sistem Informasi Geografis. Sistem Informasi Geografis adalah Sebuah sistem yang terdiri dari manusia, perangkat keras, dan perangkat lunak yang dapat mengumpulkan, menyimpan, mentransformasikan, menampilkan, memanipulasi, dan memadukan informasi yang direferensikan dimuka bumi (data spatial) dari berbagai sektor, dapat menghasilkan informasi yang akan membantu pengambilan sebuah keputusan.
a. Database Sebaran Mulut Gua
Database sebaran mulut gua yang direferensikan pada posisi pasti dimuka bumi menjadi hal yang penting untuk memilih gua yang akan dieksplorasi, mencari gua baru, maupun usaha melacak system perguaan di suatu daerah.
Gambar . Peta sebaran mulut gua disekitar dusun Serpeng, desa Pacarrejo, Kecamatan Semanu.
Peta diatas adalah sebuah peta dasar informasi yang disediakan dalam Peta Rupa Bumi Indonesia produk dari Bakosurtanal. Tiap satu garis kontur akan mewakili nilai ketinggian tertentu dengan antar garisnya memiliki perbedaan nilai ketinggian sesuai nilai interval. Sehingga garis kontur akan mencerminkan penampakan topografi suatu daerah
Gambar A Peta kontur yang mencerminkan penampakan topografi suatu daerah B. Kenampakan 3D topografi dari suatu daerah.
b. Identifikasi Posisi Mulut Gua Terhadap Daerah Tangkapan
Di daerah karst akumulasi air daerah tangkapan bisa dicirikan dengan sebuah alur sungai musiman ataupun suatu doline/ lembah tertutup yang mempunyai titik terendah sebagai akumulasi aliran air. Pada produk peta dengan skala yang cukup representatif sungai musiman kadang tergambar dengan jelas
Gambar . A. Identifikasi bahwa luweng Ceblok berada pada daerah tangkapan yang berupa suatu lembah tertutup/ doline. Gambar B. Identifikasi bahwa luweng Seerpeng 2 berada pada suatu daerah tangkapan dengan adanya sungai musiman yangbermuara dimulut Luweng Serpeng 2
c. Interpretasi Aliran Permukaan
Langkah pertama untuk menentukan luasan daerah tangkapan ialah dengan menginterpretasi aliran permukaan yang terjadi ketika turun hujan di suatu daerah tertentu. Alur, anak sungai dan sungai musiman kadang tidak tergambarkan dalam peta dengan skala besar.
Gambar . A. Gambaran peta dasar dengan informasi sungai musiman yang ada B. Garis putus-putus menggambarkan alur, anak sungai didaerah tangkapan hasil interpretasi peta topografi.
Gambar . A. Gambaran daerah tangkapan air Luweng Ceblok yang berupa lembah tertutup/ doline. B. Garis putus-putus menggambarkan alur didaerah tangkapan hasil interpretasi peta topografi
d. Identifikasi Luasan Daerah Tangkapan
Setelah alur, anak sungai dan sungai utama dapat teridentifikasi melalui interpretasi peta topografi, langkah berikutnya ialah men-deliniasi punggung bukit, puncak atau batas-batas pemisah topografi, yang berfungsi menerima, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya. Berikut adalah contoh peta deliniasi daerah tangkapan untuk luweng Serpeng2 dan luweng Ceblok .
Gambar . Peta luasan daerah tangkapan air hujan di Luweng Serpeng 2, dengan luas 0.9216Km2.
Gambar . Peta luasan daerah tangkapan air hujan di Luweng Ceblok, dengan luas 2.452 Km2.
6.) Perhitungan Debit Limpasan/ Aliran Permukaan
a. Metode Rasional
Metode Rasional adalah cara tertua untuk memperkirakan limpasan (debit) dari curah hujan pada suatu daerah tangkapan. Pertama kali dikembangkan oleh Lloyd- Davis 1906. (Sumber : Hidrologi Teknik, C.D. Soemarto, 1999)
Q = 0.02778 C I A
Dimana:
Q = laju aliran (debit) puncak (m³/dtk)
C = koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1)
I = intensitas curah hujan (m/dtk)
A = luas DAS (m2)
Koefisien aliran permukaan (C), koefisien C didefinisikan sebagai nisbah antara puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Harga C ditentukan dengan metode dari Hassing (1995):
Tabel Koefisien aliran untuk metode rasional (dari Hassing, 1995)
Penentuan harga koefisien limpasan dilakukan dengan memperkirakan prosentase luas area dengan kondisi yang berbeda. Sehingga dari berbagai kondisi daerah tangkapan hujan, diperoleh harga koefisien limpasan yang sesuai dengan kondisi vegetasi, kondisi topografi dan kondisi tanah.
Koefisien catchment area/ daerah tangkapan air hujan total dapat dicari dengan menjumlahkan koefisien dari kondisi vegetasi, kondisi topografi dan kondisi tanah. Perhitungan koefisien limpasan pada masing-masing daerah tangkapan hujan adalah sebagai berikut :
b. Perhitungan
Berikut beberapa contoh perhitungan untuk dua buah luweng dengan bentuk dan luas tangkapan yang berbeda dengan beberapa skenario intensitas kejadian hujan, dengan koefisien dari kondisi vegetasi, kondisi topografi dan kondisi tanah dianggap sama dalam satu luasan daerah tangkapannya:
1. Luweng Ceblok
Rata-rata persen kelerengan topografi : 3.68% , Ct = 0.08
Lapisan penutup : Lempung berpasir : Cs = 0.08
Vegetasi : Pertanian : Cv = 0.11
C = Ct+Cs+Cv >>>> C= 0.27
Luas Daerah Tangkapan A = 2.452 km2 = 2.452.000 m2
2. Luweng Serpeng 2
Rata-rata persen kelerengan topografi : 3.721% , Ct = 0.08
Lapisan penutup : Lempung berpasir : Cs = 0.08
Vegetasi : Pertanian : Cv = 0.11
C = Ct+Cs+Cv >>>> C= 0.27
Luas Daerah Tangkapan A = 0.9216 km2 = 926.300 m2
– Analisa resiko diatas bertujuan memberikan gambaran perbandingan besarnya catchment area/ daerah tangkapan air hujan, berbagai skenario intensitas kejadian hujan dengan debit yang masuk ke dalam gua, perlu dilengkapi perhitungan waktu tempuh aliran air dari kejadian hujan pertama hingga sampai banjir pertama sampai kedepan mulut gua. Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa memasuki gua yang berada pada sebuah daerah tangkapan, menjadi lubang pengeringan , dan dilakukan pada saat musim hujan akan mengakibatkan risiko.
– Identifikasi posisi mulut gua terhadap daerah tangkapan harus selalu dilakukan untuk kegiatan penelusuran dimusim hujan. Perlu mewaspadai sebuah sistem perguaan dengan lorong yang saling berhubung dan mempunyai beberapa mulut gua yang terpisah. Identifikasi bekas banjir dan perilaku hydrolik didalam gua harus menjadi kebiasaan untuk dapat menzonasi tingkat bahaya di setiap section lorong gua.
– Hasil analisa ancaman perlu diperkuat dengan survey awal kondisi gua dan lingkungannya untuk memastikan hasil analisa yang dibuat di studio :
a. Jenis lapisan penutup, Guna lahan, Vegetasi, dan Kemiringan lereng di daerah tangkapan air hujan.
b. Mengidentifikasi tinggi banjir maksimal disekitar mulut gua dan sepanjang alur aliran permukaannya.
– Jika memutuskan memasuki gua yang berpotensi banjir dimusim hujan harus diterima konsekuensi risikonya. Usaha menurunkan risiko perlu dilakukan dengan milih gua lain yang lebih aman. Jika tetap harus dilakukan di tempat yang sama untuk kegiatan yang harus dijalankan (rescue, penelitian dll) perlu melakukan beberapa langkah pasti pada hari kegiatan :
a. Lengkapi dengan peta luasan daerah tangkapan air hujan, dan posisi stasiun-stasiun pemantauan cuaca dan sistem sistem jejaring komunikasi baik internal maupun bekerjasama dengan organisasi komunikasi lokal (Polisi, SAR, Komunitas Radio Komunikasi, dll) termasuk didalamnya mekanisme pelaporan pemantauan cuacanya (laporan per interval waktu, perkejadian ekstrim (mendung, gerimis, hujan,dll)).
b. Kumpulkan informasi kejadian hujan hari-hari sebelumnya baik dari stasiun pengamantan (BMKG, Dinas pertanian, Perhubungan dll), juga dari masyarakat sekitar lokasi mulut gua dan sekeliling daerah tangkapan air hujannya serta ramalan cuaca hari kegiatan. Peristiwa alam selalu meninggalkan tanda, untuk kejadian hujan dan intensitasnya (kemungkinan banjir sebelumnya) beberapa hal perlu diperhatikan baik disekitar mulut gua maupun perimeter daerah tangkapannya :
1. Genangan permukaan yang ditemui bisa menunjukan tingkat kejenuhan tanah dan intensitas kejadian hujan. Waspadai untuk jenis tanah semi permiable (tanah liat), lapisan terluar di permukaan mungkin terlihat kering, tapi kita perlu ukur ketebalan lapisan kering tersebut.
2. Identifikasi kejadian banjir, terutama gambaran debit air banjir dengan mengidentifikasi ketinggian banjir yang mungkin terjadi. Sampah yang tersangkut, tanah yang longsor, vegetasi yang roboh mengikuti arah aliran air akan menjadi indikator yang baik.
c. Eksplorasi sekitar mulut gua untuk menemukan lobang akses yang lain yang bukan merupakan alur utama aliran air permukaan ke dalam gua. Keputusan posisi entrance juga akan jadi parameter penentuan desain dan variasi lintasan vertikal, baik untuk eksplorasi atau kondisi emergency.
d. Lengkapi tim dengan peta zonasi daerah berbahaya dan aman tiap section lorong gua. Informasi dari interpretasi peta dan diskripsi gua, berbagai laporan kegiatan, organisasi dan penelusur yang pernah masuk, dan harus selalu diklarifikasi langsung selama kegiatan bisa digunakan untuk membuat peta ini. Target, waktu, skenario, jumlah personel, titik-titik surviving dilengkapi dengan penerangan, logistik, tambahan pengamanan ditiap titik, traffic dan distribusi penelusur ditiap section terutama di dasar/ bibir lintasan vertikal, bisa direncanakan jika kita meliki peta ini.
– Mengunjungi dan berdialog dengan masyarakat sekitar menjadi hal penting untuk mengumpulkan informasi tentang kejadian alam pada gua dan lingkungannya (kejadian banjir, frekwensi banjir, kecepatan aliran), tim yang pernah menelusuri gua tersebut, dan juga kearifan lokal.
ANALISA RESIKO BANJIR PERMUKAAN DARI CATCHMENT AREA
PADA SEBUAH RENCANA PENULUSURAN
ARTIKEL DAPAT DIUNDUH DISINI. DOWNLOAD
Informasinya cukup lugas, perlu buat para penggiat perguaan.
Kelihatannya banyak gua yg sudah terdata sebelumnya khususnya debit air di daerah tangkapan.
Terima kasih atas analisa nya.
sipp mas
Lengkap oom Thomas. Perhitungan yang bikin mumet dan diagram alirnya yang praktis, sangat bermanfaat.
siip
Suka sekali dengan kedetilan artikel ini. Perkenalkan, saya Afifah Afra. Saya bukan caver, tetapi saya suka sekali dengan gua dan ekosistem karst. Saya menulis novel tentang petualangan menyusuri gua, dengan judul #AkikDanPenghimpunSenja
Gambaran isinya bisa dilihat di sini http://www.afifahafra.net/2015/03/akik-dan-penghimpun-senja-novel-terbaru.html?utm_source=BP_recent
Kisah-kisah teman semua akan sangat menarik jika dibikin novel atau cerpen.